Pengertian Inseminasi
Secara sederhana, inseminasi (buatan) adalah proses penempatan sperma dalam
organ reproduksi wanita dengan tujuan untuk mendapatkan kehamilan. Ini harus
dilakukan pada masa paling subur dari seorang wanita, yakni sekitar 24-48 jam
sebelum ovulasi terjadi. Inseminasi buatan yang paling populer digunakan adalah
IUI atau Intra Uterine Insemination. IUI merupakan proses fertility treatment yang melibatkan air mani
yang dicuci dan kemudian ditransfer ke dalam rahim wanita dengan menggunakan
jarum suntik khusus. Cara ini merupakan cara yang paling umum dan biasanya
berhasil.
Pandangan Agama terhadap Inseminasi
1. Pandangan Agama Islam
Inseminasi pada dasarnya bersifat netral. Namun kenetralan tersebut bisa berubah sesuai dengan
hal-hal yang mengiringi dilakukannya inseminasi. Jadi, meskipun memiliki daya guna tinggi, terapan sains modern juga sangat rentan
terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang
tidak beragama, tidak beriman dan tidak beretika sehingga sangat potensial
berdampak negatif dan fatal, sehingga hal tersebut menjadi sebuah kejahatan.
Oleh karena itu, kaedah dan ketentuan syariah patut dijadikan sebagai pemandu
etika dalam penggunaan teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi
belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif
Medicine, DR. Andrew Weil sangat merasa resah dan mengkhawatirkan penggunaan
inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk
memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr.
Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar
Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika
biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika.
Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula
sebagai bidang spesialisasi pada 1960–an sebagai tanggapan atas tantangan yang
belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung
kehidupan dan teknologi reproduksi.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah Kontemporer, karena tidak terdapat hukumnya secara
spesifik di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah bahkan dalam kajian fiqh klasik
sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut hukum islam maka
harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli
ijtihad (mujtahid), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip
dan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam.
Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan
multi disipliner, tentunya oleh para ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai
disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang
benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan,
biologi, hukum, agama dan etika.
Menurut Mahmud Syaltut penghamilan buatan (jika menggunakan sperma donor)
adalah pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena
memasukkan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah
secara syara’, yang dilindungi hukum syara’.
Hal senada juga
disampaikan oleh Yusuf Al-Qardlawi. Beliau menyatakan bahwa Islam
mengharamkan pencakokan sperma apabila pencakokan itu bukan dari sperma suami.
Dengan demikian, dapat dikatakan hukum inseminasi buatan dan bayi tabung
pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan
dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, maka hal ini dibolehkan, asal
keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk
membantu memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al-hajaatu tanzilu manzilah al dharurah’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan
darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor
sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat
hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan
dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan
menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah, pertama:
Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga
melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan
manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri
serta menghormati martabat sesama manusia. Pemuliaan manusia bukan hanya dari
sisi fisik, namun sisi keturunan pun Allah bedakan dengan makhluk lain.
Sehingga inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan
harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang
lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu
Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang
melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi
mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut
Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya lahir.
Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup,
masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh
fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan
pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan
atau air secara umum, seperti dalam Surat Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau
sperma seperti dalam Surat An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus
berasal dari sperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah
hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat harus didahulukan daripada mencari
atau menarik maslahah/kebaikan).
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor
sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat (dampak negatif)
daripada maslahah (dampak positif). Maslahah yang dibawa inseminasi buatan
ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya,
untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal.
Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar (jika menggunakan donor),
antara lain berupa:
1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat
menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada
kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau
hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan
prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa
perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa
menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur
negatifnya daripada anak adopsi.
6.
Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama
bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan
suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan
keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan
Al-Ahqaf:14).
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma
dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan
anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan
bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya
memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat
dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat
lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup
dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya
pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan
antara dua orang karena agama melarangnya, dan lain-lain. Lagi pula negara kita
tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena
tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking